A.
PENDAHULUAN
Tradisi telah diakui keberadaannya
sebagai sebuah sistem budaya dalam bentuk simbol-simbol yang sangat rumit,
penuh nilai-nilai di dalamnya. Karya budaya dan tradisi dalam masyarakat pendukungnya,
merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah habis digali dan dikembangkan nilai-nilainya.
Semakin kedalam karya tersebut dipelajari, semakin menakjubkan isi yang ada di
dalamnya.Takjub akan estetika maupun makna simbolisme yang tersirat maupun
tersurat dalam karya tersebut. Wujud kebudayaan yang berbentuk tradisi, tidak
hanya terdapat di Indonesia, tetapi hampir di belahan dunia ini yang menggunakan media canting telah berlangsung
lama dan turun temurun.
Budaya dan tradisi ini juga
termuat ajaran etika dan keindahan yang berbetuk penampilan visual dan
simbolisme hidup yang pada dasarnya dapat menuntun manusia menuju kesempurnaan
dan jati diri yang sejati. Kaidah ini dimungkinkan, mengingat bahwa budaya
tradisi merupakan pengentahan jiwa dalam kehidupan yang selalu mewujudkan aksi
dan reaksi serta secara kontinyu untuk mendapatkan penyelesaian masalah yang
bijak dan baik sesuai kultur yang telah terbentuk.(Sastraamidjaja,1964: 17 –
20) Melalui budaya dan tradisi ini, hal - hal akan muncul dan sarat dengan
etika, keindahan juga simbolismenya. Budaya dan tradisi misalnya, sarat dengan
makna simbolisme memegang peranan penting dalam menunjukkan kedudukan para
pemakai pada saat itu.
Globalisasi memengaruhi hampir
semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh
masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap
berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek
kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek
kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku
seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang
bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah
kean, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Konsep yang harus segera
dilakukan dalam budaya tradisi dalam
masyarakat lokal adalah membuat reposisi budaya dan tradisi dalam era
globalisasi. Globalisasi di bidang ekonomi, informasi serta budaya telah
mengakibatkan budaya tradisi dituntut
menempatkan dirinya ke dalam suasana baru. Karena era globalisasi menjadikan
suatu interaksi serta pertukaran dan pengaruh kebudayaan sampai ke
unsur-unsurnya. Posisi kebudayaan tradisi yang masih kuat akan memanfaatkan
interaksi untuk tetap mempertahankan identitasnya, tetapi budaya tradisi yang
lemah akan cenderung mengikuti arus, ditransformasikan bahkan hancur dalam era
globalisasi.
B. PENGERTIAN TRADISI DAN GLOBALISASI
1. Pengertian Tradisi
Tradisi berasal dari
bahasa Latin traditio, "diteruskan" atau kebiasaan, dalam pengertian yang
paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan
menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu
negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari
tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik
tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi
dapat punah.
2. Pengertian Globalisasi
Globalisasi atau penyejagatan
(neologisme) adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan
keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia
melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar
kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan
memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara
Dalam banyak hal, globalisasi
mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga
kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan
istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau
batas-batas negara.
Menurut asal katanya, kata
"globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal.
Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan
sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini
tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan,
kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung
dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses
sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa
dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan
satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan
batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat
globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif
atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah
kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya
praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya
karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar
terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain
seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali
menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan
orang dengan globalisasi:
- Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
- Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
- Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
- Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
- Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
3. Ciri globalisasi
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin
berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
Hilir mudiknya kapal-kapal
pengangkut barang antar negara menunjukkan keterkaitan antar manusia di seluruh
dunia
- Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
- Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
- Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
- Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini
telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa
kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam
sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan
selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta
kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi
sosial.
4. Teori globalisasi
Cochrane
dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat
tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:
- Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
·
Para globalis
positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan
menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran
dan bertanggung b.
·
Para globalis
pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena
hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika
Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk
budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar
dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang
globalisasi (antiglobalisasi).
- Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
- Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.
5. Gerakan pro-globalisasi
Pendukung globalisasi (sering
juga disebut dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa globalisasi dapat
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka
berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini
menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat
saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah
ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran
sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera
digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya.
Dengan teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan
mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk memaksimalkan produksi kamera
digital, lalu menutupi kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia,
begitu juga sebaliknya.
Salah satu penghambat utama
terjadinya kerjasama diatas adalah adanya larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di satu sisi, kebijakan
ini dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan
meningkatkan biaya produksi barang impor sehingga sulit menembus pasar negara yang dituju. Para pro-globalisme tidak setuju
akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan dilakukannya
kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat ditekan,
akibatnya permintaan akan meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran
akan meningkat dan begitu seterusnya.
Beberapa kelompok pro-globalisme
juga mengkritik Bank Dunia dan IMF,
mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya mengontrol dan mengalirkan
dana kepada suatu negara, bukan kepada suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai
hasilnya, banyak pinjaman yang mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian menyelewengkan dan tidak menggunakan
dana tersebut sebagaimana mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang
negara, dan sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat kemakmuran
menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk konsumsi barang impor, sehingga laju
globalisasi akan terhambat dan -- menurut mereka -- mengurangi tingkat
kesejahteraan penduduk dunia.
5. Gerakan antiglobalisasi
Antiglobalisasi adalah suatu
istilah yang umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan
kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur
perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Antiglobalisasi"
dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara yang lainnya
menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang
berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan
terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka
mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga,
dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Namun, orang-orang yang dicap
"antiglobalisasi" sering menolak istilah itu, dan mereka lebih suka
menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari Semua
Gerakan atau sejumlah istilah lainnya. [sunting] Globalisasi Perekonomian
Globalisasi perekonomian
merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara
di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan
tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan
penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa.
Ketika globalisasi ekonomi
terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara
ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat.
Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari
dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka
peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Menurut Tanri Abeng, perwujudan nyata
dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:
·
Globalisasi produksi,
di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya
produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah,
tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai atau pun karena iklim
usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur
global.
Kehadiran tenaga kerja asing
merupakan gejala terjadinya globalisasi tenaga kerja
·
Globalisasi
pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau
melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio atau pun langsung) di semua
negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan
telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah
memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama
mitrausaha dari manca negara.
·
Globalisasi tenaga
kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh
dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga
kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa
diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan
semakin mudah dan bebas.
·
Globalisasi jaringan
informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi
dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui:
TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah
membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama.
Sebagai contoh : KFC, celana jeans levi's, atau hamburger melanda pasar
dimana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia -baik yang berdomisili di kota
ataupun di desa- menuju pada selera global.
·
Globalisasi
Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif
serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan
perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan fair.
Thompson mencatat bahwa kaum
globalis mengklaim saat ini telah terjadi sebuah intensifikasi secara cepat
dalam investasi dan perdagangan internasional. Misalnya, secara nyata
perekonomian nasional telah menjadi bagian dari perekonomian global yang
ditengarai dengan adanya kekuatan pasar dunia. [sunting] Kebaikan globalisasi
ekonomi
·
Produksi global dapat
ditingkatkan
Pandangan ini sesuai dengan teori
'Keuntungan Komparatif' dari David Ricardo. Melalui spesialisasi dan
perdagangan faktor-faktor produksi dunia dapat digunakan dengan lebih efesien,
output dunia bertambah dan masyarakat akan memperoleh keuntungan dari
spesialisasi dan perdagangan dalam bentuk pendapatan yang meningkat, yang
selanjutnya dapat meningkatkan pembelanjaan dan tabungan.
·
Meningkatkan
kemakmuran masyarakat dalam suatu negara
Perdagangan yang lebih bebas
memungkinkan masyarakat dari berbagai negara mengimpor lebih banyak barang dari
luar negeri. Hal ini menyebabkan konsumen mempunyai pilihan barang yang lebih
banyak. Selain itu, konsumen juga dapat menikmati barang yang lebih baik dengan
harga yang lebih rendah.
·
Meluaskan pasar untuk
produk dalam negeri
Perdagangan luar negeri yang
lebih bebas memungkinkan setiap negara memperoleh pasar yang jauh lebih luas
dari pasar dalam negeri.
·
Dapat memperoleh
lebih banyak modal dan teknologi yang lebih baik
Modal dapat diperoleh dari
investasi asing dan terutama dinikmati oleh negara-negara berkembang karena
masalah kekurangan modal dan tenaga ahli serta tenaga terdidik yang
berpengalaman kebanyakan dihadapi oleh negara-negara berkembang.
·
Menyediakan dana
tambahan untuk pembangunan ekonomi
Pembangunan sektor industri dan
berbagai sektor lainnya bukan saja dikembangkan oleh perusahaan asing, tetapi
terutamanya melalui investasi yang dilakukan oleh perusahaan swasta domestik.
Perusahaan domestik ini seringkali memerlukan modal dari bank atau pasar saham.
dana dari luar negeri terutama dari negara-negara maju yang memasuki pasar uang
dan pasar modal di dalam negeri dapat membantu menyediakan modal yang dibutuhkan
tersebut.
Globalisasi memengaruhi hampir
semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh
masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap
berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek
kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek
kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku
seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang
bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah
kean, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi sebagai sebuah gejala
tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi
budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari
persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah
Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ).
Namun, perkembangan globalisasi
kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya
teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai
sarana utama komunikasi antar bangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi
antar bangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya
perkembangan globalisasi kebudayaan. Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
·
Berkembangnya
pertukaran kebudayaan internasional.
·
Penyebaran prinsip
multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap
kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
·
Berkembangnya turisme
dan pariwisata.
·
Semakin banyaknya
imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
·
Berkembangnya mode
yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
·
Bertambah banyaknya
event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.
C.
MERKANTILISME BUDAYA
Dewasa ini budaya tradisi mulai berubah daya hidupnya, karena
pengaruh dari berbagai perubahan baik sosiol, ekonomi maupun kultural yang
berlangsung secara global.
Pengaruh globalisasi menciptakan
suatu proses transformasi yang sangat besar, karena disebabkan oleh menguatnya
rasionalisasi di setiap aspek kehidupan. Di satu pihak mengakibatkan melemahnya
ikatan bathin dengan berbagai aspek komunitas, upacara ritual bahkan
kepercayaan, serta di lain pihak memunculkan kekuatan ikatan bathin terhadap
berbagai aspek komoditi, pencitraan lewat media serta budaya yang cepat saji.
Akibat dari semua itu,
memunculkan suatu proses besar tentang diskontinuitas dari berbagai kondisi
budaya tradisi yang pernah dialami dalam masyarakat, termasuk perubahan pada
tradisi.
Diskontinuitas tersebut
mempengaruhi dalam tiga aspek utama, yaitu: diskontinuitas epistemologis
filosofis, diskontinuitas sosio ekonomi dan diskontinuitas estetis. (Yasraf ,
2004: 2)
Lebih lanjut, ia mengatakan
bahwa; pertama, diskontinuitas epistemoligis filosofis yang dipengaruhi oleh
pengetahuan dan pandangan dunia tradisi diganti oleh pengetahuan dan pandangan
dunia tentang konsep modern. Suatu proses rasionalisasi dinia kehidupan dengan
menghilangkan kapercayaan magis, terutama dalam kehidupan manusia dalam
berinteraksi dengan Sang Pencipta. Dengan semakin dominannya dogma-dogma yang
dibuat oleh masyarakat atas dogma Agama dan kepercayaan, semakin membuktikan
hal tersebut. Seiring dengan pembebasan masyarakat dari hal-hal yang bersifat
magis, diiringi dengan tercabutnya tentang pengetahuan dari hakekat mitologi
yang selama ini diyakini dalam masyarakat.
Proses transformasi demikian ini
sering didengungkan dengan istilah modernisasi yang sebenarnya semakin mengikis
habis tentang pemahaman epistemologis filosofis yang terdapat dalam budaya tradisi kita. Proses ini mempengaruhi
langsung terhadap bentuk aktifitas masyarakat tradisi, yang semula bersifat
magis dalam upacara adat berubah menjadi suatu kalkulasi yang rasional. Inilah
yang dinamakan suatu proses pengikisan pandangan tentang tradisi menjadi
pandangan dunia yang modern atau dapat disebut suatu pencabutan budaya yang
sakral dan spiritual menjadi sebuah dunia yang profan serta rasional. Kedua;
diskontinuitas ekonomis merupakan suatu pengaruh adanya industrialisasi sebagai
produk modernisasi, sehingga membuat masyarakat lokal dengan gaya ekonomi lokal
dengan segala nilai yang ada terseret oleh arus ekonomi modern. Dengan demikian
budaya tradisi dijadikan kebudayaan
komoditi dalam rangka mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menerapkan
efisiansi di segala bidang. Sehingga budaya
tradisi berubah menjadi industri kebudayaan dikarenakan tekanan
komersialisasi secara kontinyu serta dituntut berbagai ketentuan komoditi
modern, yaitu kualitas, efisiensi dengan mengandalkan pada produk massal.
Dengan adanya sifat komersial dalam tuntutan modernisme tersebut, konsep
industri kebudayaan cenderung menjadi diskontinuitas dari nilai-nilai yang
telah ada dalam tekstil tradisi, termasuk
tradisi di . Disini nilai sakral, spiritual dan mengandung mitos berubah
menjadi nilai komersial sesuai dengan kalkulasi ekonomi modern. Ketiga;
diskontinuitas estetik konsepsual mengakibatkan budaya tradisi terperangkap dalam konsep industri
kebudayaan, karena tekanan komersial yang cenderung mengeksplorasi aspek-aspek
estetis dalam rangka untuk memenuhi selera masyarakat serta mementingkan segi
keuntungan dari produk kebudayaan tradisi tersebut.
Konsep estetika komoditi
diberlakukan untuk mengolah bentuk-bentuk estetik berlandaskan pada daya tarik
serta provokasi terhadap masyarakat konsumen. Berbagai bentuk multifungsi
diciptakan dengan pertimbangan estetika komersial selalu ditonjolkan dalam
konsep estetika komoditi, sehingga nilai sakral, dan nilai filosofis menjadi
luntur.
Merkantilisme budaya tersebut
mengakibatkan budaya tradisi di
antaranya tradisi menjadi dilema, karena
bentuk tradisi yang merupakan suatu
karya konvensi serta diilhami oleh kepercayaan dan mitos yang dipresentasikan
sebagai kelanjutan masa lalu ke masa kini yang harus tetap bertahan di tengah
era globalisasi.
Ada masyarakat yang beranggapan
bahwa tradisi merupakan suatu yang terpancang pada sebuah tonggak besar dan
tidak dapat bergerak. Padahal sebetulnya tradisi itu selalu dapat membuka ruang
sejarah untuk dapat direinterpretasikan secara kontinyu, sehingga budaya
tradisi dapat selalu berkembang sesuai dengan perubahan dan kemajuan jaman
(Umar Kayam, 1981) Bentuk definisi tersebut sebagai suatu upaya penerapan
budaya tradisi ke dalam konfigurasi dan
ekspresi bentuk lain dengan mengikuti serta mengikuti dogma-dogma yang ada,
tetapi tifak meninggalkan nilai-nilai yang ada.
Di pihak lain, ada yang
beranggapan ada mitos yang berkembang dalam masyarakat, bahwa tradisi tidak memiliki pengetahuan serta daya
kreatif yang rendah, padahal sebetulnya ia memiliki pengetahuan lokal,
psikologi lokal dan filosofi lokal yang sesungguhnya dapat dikembangkan untuk
menghasilkan estetika yang sangat dalam, dengan jalan pengembangan konsep
budaya tradisi melalui berbagai
penelitian yang mendalam tentang potensi tradisi. Dengan melihat potensi
tersebut, maka dapat dikembangkan pula pemikiran-pemikiran estetika yang baru
serta mereinterpretasikan ke dalam kontek yang baru, sehingga budaya tradisi mampu menghasilkan inovasi yang
ingenious untuk dapat menandingi inovasi yang dibawa oleh produk modern dengan
menekankan pada komersialisasi serta cenderung menjadikan budaya
tradisi menjadi bagian dari industri budaya.
D.
REPOSISI BUDAYA TRADISI DI ERA
GLOBALISASI
Dewasa ini tradisi menjadi bahan
kepentingan suatu kelompok tertentu, dimana satu sisi ada kepentingan ekonomi
dan sisi lain menjadi obyek kepentingan kekuasaan. Budaya tradisi dijadikan
sebagai kepentingan komoditi oleh industriawan untuk mencari keuntungan, di
sisi lain sebagai media untuk mencari kekuasaan dengan mengeksploitir tradisi menjadi alat propaganda. Dengan demikian
budaya tradisi tidak pernah menjadi kekuatan budaya yang
berdiri sendiri serta tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan yang memiliki daya
tahan hidup serta kekuatan sendiri.
Akibat dari masalah tersebut,
yaitu budaya tradisi, termasuk tradisi
mengalami dilema, di satu sisi mengharuskan
tradisi harus hidup dan bertahan, sehingga diperlukan suatu pesona dan
daya tarik dalam masyarakat Di sisi lain, budaya tradisi sekali melangkah dalam inovasi serta
perubahan, maka budaya tidak dapat
disebut sebagai tradisi lagi serta terseret arus komersialisasi, walaupun
budaya tradisi, termasuk tradisi dapat
melakukan transformasi bentuknya. Ini semua diakibatkan oleh pengaruh industri
global yang mau tidak mau serta senang tidak senang harus diterima dalam
kehidupan budaya tradisi dewasa ini.
Konsep yang harus segera
dilakukan dalam budaya tradisi dalam
masyarakat lokal adalah membuat reposisi budaya dalam era globalisasi.
Globalisasi di bidang ekonomi,
informasi serta budaya telah mengakibatkan budaya tradisi dituntut menempatkan dirinya ke dalam
suasana baru. Karena era globalisasi menjadikan suatu interaksi serta
pertukaran dan pengaruh kebudayaan sampai ke unsur-unsurnya. Posisi kebudayaan
tradisi yang masih kuat akan memanfaatkan interaksi untuk tetap mempertahankan
identitasnya, tetapi budaya tradisi yang lemah akan cenderung mengikuti arus,
ditransformasikan bahkan hancur dalam era globalisasi.
Diantara tarik menarik kekuatan
di atas, budaya tradisi, termasuk
tradisi berada dalam kekuatan tarik menarik kepentingan tersebut.
Sehingga budaya tradisi dituntut untuk
melakukan reposisi budaya, yaitu mencari sebuah alternatif yang strategis dalam
konstelasi perubahan jaman yang cepat ini. Dengan demikian budaya tradisi yang dianggap statis, indiginasi
dituntut untuk mendapatkan posisi yang baru dalam era globalisasi lewat
kesadaran yang kritis.
Dengan melalui kesadaran yang
kritis ini diharapkan budaya tradisi
dapat membangun kekuatan diri sendiri berdasar pada paradigmanya sendiri, serta
memperkuat sistem dan prinsip yang bersumber dari lokal untuk ditawarkan
melalui konteks yang global. Konteks reposisi semacam ini dianggap sangat perlu
dan penting sebagai upaya dalam reposisi budaya, sehingga dapat membangkitkan
kembali daya tarik serta rasa memiliki dalam masyarakat lokal yang telah
diwarisi budaya tradisi, termasuk .
E.
PENUTUP
Dalam
merkantilisme budaya yang melanda saat ini, budaya tradisi dalam memperkuat
masyarakat lokal harus segera melakukan reposisi dalam era globalisasi. Dengan
melalui kesadaran yang kritis ini diharapkan budaya tradisi, termasuk tradisi misalnya dapat membangun kekuatan
diri sendiri berdasar pada paradigmanya sendiri, serta memperkuat sistem dan
prinsip yang bersumber dari lokal untuk ditawarkan melalui konteks global.
Dengan demikian budaya tradisi di dalam masyarakat khususnya dan di Indonesia pada umumnya akan
tetap eksis dan dapat bertahan serta berkembang sesuai dengan kekuatan
lokalnya.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, B. R.O”G., Mythology
and The Tolerance of The Javanese, Cornell Modern Indonesia, 1996
Buchari, S., 1995, Kebudayaan
, Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Cassires, E., 1944, An
Essay on Man: An Intoduction to A Philosophy of Human
Culture, Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
Hitchcock, M., 1991, Indonesian
Textiles, Berkeley, Singapore: Periplus Education.
Hoop, V.D., 1949, Indonesische
Siermotieven, Bandoeng: Gedrukt Door NV & Co.
Kalinggo
Honggodipuro, KRT., 2002, Sebagai
Busana Dalam Tatanan dan
Tuntunan, Surakarta: Yayasan Peduli Karaton Surakarta
Hadiningrat.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan,
Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia.
Mulder, N., 1996, Pribadi
dan Masyarakat , Jakarta: Sinar Harapan.
Raga Maran, Rafael. 2000. Manusia
dan Kebudayaan : Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Read, H., 1970, Education
Through Art, London: University of California Press.
Sardjono, Maria A. 1995. Paham . Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Soedarmono, 1990, Dinamika
Kultural Klasik , Sarasehan
Kebudayaan, Surakarta: Taman Budaya.
Susanto, S., 1980, Kerajinan
Indonesia, Yogyakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan dan Kerajinan.
Suseno, F.M., 2001, Etika , Jakarta: P.T.
Gramedia Pustaka Utama.
Kayam, U., 1981, , Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Sinar
Harapan.
Yasper Y.E., Mas
Pirngadie, 1916, De Kunst,
Nederlansche Indie: S’ Gravenhage
Yasraf Amir Pilaang, 2004, Makalah
“Penguatan Tradisi dalam Era Merkantilisme
Budaya”, Surakarta: STSI Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar