4/06/2013

REPOSISI BUDAYA DALAM MEMPERTAHANKAN TRADISI DALAM ERA GLOBALISASI


A.    PENDAHULUAN
Tradisi telah diakui keberadaannya sebagai sebuah sistem budaya dalam bentuk simbol-simbol yang sangat rumit, penuh nilai-nilai di dalamnya. Karya budaya dan  tradisi dalam masyarakat pendukungnya, merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah habis digali dan dikembangkan nilai-nilainya. Semakin kedalam karya tersebut dipelajari, semakin menakjubkan isi yang ada di dalamnya.Takjub akan estetika maupun makna simbolisme yang tersirat maupun tersurat dalam karya tersebut. Wujud kebudayaan yang berbentuk tradisi, tidak hanya terdapat di Indonesia, tetapi hampir di belahan dunia ini   yang menggunakan media canting telah berlangsung lama dan turun temurun.
Budaya dan tradisi ini juga termuat ajaran etika dan keindahan yang berbetuk penampilan visual dan simbolisme hidup yang pada dasarnya dapat menuntun manusia menuju kesempurnaan dan jati diri yang sejati. Kaidah ini dimungkinkan, mengingat bahwa budaya tradisi merupakan pengentahan jiwa dalam kehidupan yang selalu mewujudkan aksi dan reaksi serta secara kontinyu untuk mendapatkan penyelesaian masalah yang bijak dan baik sesuai kultur yang telah terbentuk.(Sastraamidjaja,1964: 17 – 20) Melalui budaya dan tradisi ini, hal - hal akan muncul dan sarat dengan etika, keindahan juga simbolismenya. Budaya dan tradisi misalnya, sarat dengan makna simbolisme memegang peranan penting dalam menunjukkan kedudukan para pemakai pada saat itu.
Globalisasi memengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kean, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Konsep yang harus segera dilakukan dalam budaya  tradisi dalam masyarakat lokal adalah membuat reposisi budaya dan tradisi dalam era globalisasi. Globalisasi di bidang ekonomi, informasi serta budaya telah mengakibatkan budaya  tradisi dituntut menempatkan dirinya ke dalam suasana baru. Karena era globalisasi menjadikan suatu interaksi serta pertukaran dan pengaruh kebudayaan sampai ke unsur-unsurnya. Posisi kebudayaan tradisi yang masih kuat akan memanfaatkan interaksi untuk tetap mempertahankan identitasnya, tetapi budaya tradisi yang lemah akan cenderung mengikuti arus, ditransformasikan bahkan hancur dalam era globalisasi.



B. PENGERTIAN TRADISI DAN GLOBALISASI

1. Pengertian Tradisi
Tradisi berasal dari bahasa Latin traditio, "diteruskan" atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

2. Pengertian Globalisasi
Globalisasi atau penyejagatan (neologisme) adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
  • Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
  • Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
  • Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
  • Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
  • Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.

3.      Ciri globalisasi
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antar negara menunjukkan keterkaitan antar manusia di seluruh dunia
  • Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
  • Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
  • Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
  • Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.

4.      Teori globalisasi
Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:
  • Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
·         Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung b.
·         Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
  • Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
  • Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.

5.   Gerakan pro-globalisasi
Pendukung globalisasi (sering juga disebut dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi barang impor sehingga sulit menembus pasar negara yang dituju. Para pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat dan begitu seterusnya.
Beberapa kelompok pro-globalisme juga mengkritik Bank Dunia dan IMF, mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya mengontrol dan mengalirkan dana kepada suatu negara, bukan kepada suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai hasilnya, banyak pinjaman yang mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian menyelewengkan dan tidak menggunakan dana tersebut sebagaimana mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang negara, dan sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk konsumsi barang impor, sehingga laju globalisasi akan terhambat dan -- menurut mereka -- mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia.

5.      Gerakan antiglobalisasi
Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Namun, orang-orang yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak istilah itu, dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya. [sunting] Globalisasi Perekonomian
Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa.
Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Menurut Tanri Abeng, perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:
·         Globalisasi produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai atau pun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Kehadiran tenaga kerja asing merupakan gejala terjadinya globalisasi tenaga kerja
·         Globalisasi pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio atau pun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari manca negara.
·         Globalisasi tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
·         Globalisasi jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh : KFC, celana jeans levi's, atau hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia -baik yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera global.
·         Globalisasi Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan fair.
Thompson mencatat bahwa kaum globalis mengklaim saat ini telah terjadi sebuah intensifikasi secara cepat dalam investasi dan perdagangan internasional. Misalnya, secara nyata perekonomian nasional telah menjadi bagian dari perekonomian global yang ditengarai dengan adanya kekuatan pasar dunia. [sunting] Kebaikan globalisasi ekonomi
·         Produksi global dapat ditingkatkan
Pandangan ini sesuai dengan teori 'Keuntungan Komparatif' dari David Ricardo. Melalui spesialisasi dan perdagangan faktor-faktor produksi dunia dapat digunakan dengan lebih efesien, output dunia bertambah dan masyarakat akan memperoleh keuntungan dari spesialisasi dan perdagangan dalam bentuk pendapatan yang meningkat, yang selanjutnya dapat meningkatkan pembelanjaan dan tabungan.
·         Meningkatkan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara
Perdagangan yang lebih bebas memungkinkan masyarakat dari berbagai negara mengimpor lebih banyak barang dari luar negeri. Hal ini menyebabkan konsumen mempunyai pilihan barang yang lebih banyak. Selain itu, konsumen juga dapat menikmati barang yang lebih baik dengan harga yang lebih rendah.
·         Meluaskan pasar untuk produk dalam negeri
Perdagangan luar negeri yang lebih bebas memungkinkan setiap negara memperoleh pasar yang jauh lebih luas dari pasar dalam negeri.
·         Dapat memperoleh lebih banyak modal dan teknologi yang lebih baik
Modal dapat diperoleh dari investasi asing dan terutama dinikmati oleh negara-negara berkembang karena masalah kekurangan modal dan tenaga ahli serta tenaga terdidik yang berpengalaman kebanyakan dihadapi oleh negara-negara berkembang.


·         Menyediakan dana tambahan untuk pembangunan ekonomi
Pembangunan sektor industri dan berbagai sektor lainnya bukan saja dikembangkan oleh perusahaan asing, tetapi terutamanya melalui investasi yang dilakukan oleh perusahaan swasta domestik. Perusahaan domestik ini seringkali memerlukan modal dari bank atau pasar saham. dana dari luar negeri terutama dari negara-negara maju yang memasuki pasar uang dan pasar modal di dalam negeri dapat membantu menyediakan modal yang dibutuhkan tersebut.

Globalisasi memengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kean, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ).
Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antar bangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan. Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
·         Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
·         Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
·         Berkembangnya turisme dan pariwisata.
·         Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
·         Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
·         Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.



C. MERKANTILISME BUDAYA

Dewasa ini budaya  tradisi mulai berubah daya hidupnya, karena pengaruh dari berbagai perubahan baik sosiol, ekonomi maupun kultural yang berlangsung secara global.
Pengaruh globalisasi menciptakan suatu proses transformasi yang sangat besar, karena disebabkan oleh menguatnya rasionalisasi di setiap aspek kehidupan. Di satu pihak mengakibatkan melemahnya ikatan bathin dengan berbagai aspek komunitas, upacara ritual bahkan kepercayaan, serta di lain pihak memunculkan kekuatan ikatan bathin terhadap berbagai aspek komoditi, pencitraan lewat media serta budaya yang cepat saji.
Akibat dari semua itu, memunculkan suatu proses besar tentang diskontinuitas dari berbagai kondisi budaya tradisi yang pernah dialami dalam masyarakat, termasuk perubahan pada tradisi.
Diskontinuitas tersebut mempengaruhi dalam tiga aspek utama, yaitu: diskontinuitas epistemologis filosofis, diskontinuitas sosio ekonomi dan diskontinuitas estetis. (Yasraf , 2004: 2)
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa; pertama, diskontinuitas epistemoligis filosofis yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan pandangan dunia tradisi diganti oleh pengetahuan dan pandangan dunia tentang konsep modern. Suatu proses rasionalisasi dinia kehidupan dengan menghilangkan kapercayaan magis, terutama dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan Sang Pencipta. Dengan semakin dominannya dogma-dogma yang dibuat oleh masyarakat atas dogma Agama dan kepercayaan, semakin membuktikan hal tersebut. Seiring dengan pembebasan masyarakat dari hal-hal yang bersifat magis, diiringi dengan tercabutnya tentang pengetahuan dari hakekat mitologi yang selama ini diyakini dalam masyarakat.
Proses transformasi demikian ini sering didengungkan dengan istilah modernisasi yang sebenarnya semakin mengikis habis tentang pemahaman epistemologis filosofis yang terdapat dalam budaya  tradisi kita. Proses ini mempengaruhi langsung terhadap bentuk aktifitas masyarakat tradisi, yang semula bersifat magis dalam upacara adat berubah menjadi suatu kalkulasi yang rasional. Inilah yang dinamakan suatu proses pengikisan pandangan tentang tradisi menjadi pandangan dunia yang modern atau dapat disebut suatu pencabutan budaya yang sakral dan spiritual menjadi sebuah dunia yang profan serta rasional. Kedua; diskontinuitas ekonomis merupakan suatu pengaruh adanya industrialisasi sebagai produk modernisasi, sehingga membuat masyarakat lokal dengan gaya ekonomi lokal dengan segala nilai yang ada terseret oleh arus ekonomi modern. Dengan demikian budaya  tradisi dijadikan kebudayaan komoditi dalam rangka mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menerapkan efisiansi di segala bidang. Sehingga budaya  tradisi berubah menjadi industri kebudayaan dikarenakan tekanan komersialisasi secara kontinyu serta dituntut berbagai ketentuan komoditi modern, yaitu kualitas, efisiensi dengan mengandalkan pada produk massal. Dengan adanya sifat komersial dalam tuntutan modernisme tersebut, konsep industri kebudayaan cenderung menjadi diskontinuitas dari nilai-nilai yang telah ada dalam tekstil tradisi, termasuk  tradisi di . Disini nilai sakral, spiritual dan mengandung mitos berubah menjadi nilai komersial sesuai dengan kalkulasi ekonomi modern. Ketiga; diskontinuitas estetik konsepsual mengakibatkan budaya  tradisi terperangkap dalam konsep industri kebudayaan, karena tekanan komersial yang cenderung mengeksplorasi aspek-aspek estetis dalam rangka untuk memenuhi selera masyarakat serta mementingkan segi keuntungan dari produk kebudayaan tradisi tersebut.
Konsep estetika komoditi diberlakukan untuk mengolah bentuk-bentuk estetik berlandaskan pada daya tarik serta provokasi terhadap masyarakat konsumen. Berbagai bentuk multifungsi diciptakan dengan pertimbangan estetika komersial selalu ditonjolkan dalam konsep estetika komoditi, sehingga nilai sakral, dan nilai filosofis menjadi luntur.
Merkantilisme budaya tersebut mengakibatkan budaya  tradisi di antaranya  tradisi menjadi dilema, karena bentuk  tradisi yang merupakan suatu karya konvensi serta diilhami oleh kepercayaan dan mitos yang dipresentasikan sebagai kelanjutan masa lalu ke masa kini yang harus tetap bertahan di tengah era globalisasi.
Ada masyarakat yang beranggapan bahwa tradisi merupakan suatu yang terpancang pada sebuah tonggak besar dan tidak dapat bergerak. Padahal sebetulnya tradisi itu selalu dapat membuka ruang sejarah untuk dapat direinterpretasikan secara kontinyu, sehingga budaya tradisi dapat selalu berkembang sesuai dengan perubahan dan kemajuan jaman (Umar Kayam, 1981) Bentuk definisi tersebut sebagai suatu upaya penerapan budaya  tradisi ke dalam konfigurasi dan ekspresi bentuk lain dengan mengikuti serta mengikuti dogma-dogma yang ada, tetapi tifak meninggalkan nilai-nilai yang ada.
Di pihak lain, ada yang beranggapan ada mitos yang berkembang dalam masyarakat, bahwa  tradisi tidak memiliki pengetahuan serta daya kreatif yang rendah, padahal sebetulnya ia memiliki pengetahuan lokal, psikologi lokal dan filosofi lokal yang sesungguhnya dapat dikembangkan untuk menghasilkan estetika yang sangat dalam, dengan jalan pengembangan konsep budaya  tradisi melalui berbagai penelitian yang mendalam tentang potensi tradisi. Dengan melihat potensi tersebut, maka dapat dikembangkan pula pemikiran-pemikiran estetika yang baru serta mereinterpretasikan ke dalam kontek yang baru, sehingga budaya  tradisi mampu menghasilkan inovasi yang ingenious untuk dapat menandingi inovasi yang dibawa oleh produk modern dengan menekankan pada komersialisasi serta cenderung menjadikan  budaya  tradisi menjadi bagian dari industri budaya.

D. REPOSISI BUDAYA TRADISI  DI ERA GLOBALISASI

Dewasa ini tradisi menjadi bahan kepentingan suatu kelompok tertentu, dimana satu sisi ada kepentingan ekonomi dan sisi lain menjadi obyek kepentingan kekuasaan. Budaya tradisi dijadikan sebagai kepentingan komoditi oleh industriawan untuk mencari keuntungan, di sisi lain sebagai media untuk mencari kekuasaan dengan mengeksploitir  tradisi menjadi alat propaganda. Dengan demikian budaya  tradisi  tidak pernah menjadi kekuatan budaya yang berdiri sendiri serta tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan yang memiliki daya tahan hidup serta kekuatan sendiri.
Akibat dari masalah tersebut, yaitu budaya tradisi, termasuk  tradisi mengalami dilema, di satu sisi mengharuskan  tradisi harus hidup dan bertahan, sehingga diperlukan suatu pesona dan daya tarik dalam masyarakat Di sisi lain, budaya  tradisi sekali melangkah dalam inovasi serta perubahan, maka budaya  tidak dapat disebut sebagai tradisi lagi serta terseret arus komersialisasi, walaupun budaya tradisi, termasuk  tradisi dapat melakukan transformasi bentuknya. Ini semua diakibatkan oleh pengaruh industri global yang mau tidak mau serta senang tidak senang harus diterima dalam kehidupan budaya  tradisi dewasa ini.
Konsep yang harus segera dilakukan dalam budaya  tradisi dalam masyarakat lokal adalah membuat reposisi budaya dalam era globalisasi.
Globalisasi di bidang ekonomi, informasi serta budaya telah mengakibatkan budaya  tradisi dituntut menempatkan dirinya ke dalam suasana baru. Karena era globalisasi menjadikan suatu interaksi serta pertukaran dan pengaruh kebudayaan sampai ke unsur-unsurnya. Posisi kebudayaan tradisi yang masih kuat akan memanfaatkan interaksi untuk tetap mempertahankan identitasnya, tetapi budaya tradisi yang lemah akan cenderung mengikuti arus, ditransformasikan bahkan hancur dalam era globalisasi.
Diantara tarik menarik kekuatan di atas, budaya tradisi, termasuk  tradisi berada dalam kekuatan tarik menarik kepentingan tersebut. Sehingga budaya  tradisi dituntut untuk melakukan reposisi budaya, yaitu mencari sebuah alternatif yang strategis dalam konstelasi perubahan jaman yang cepat ini. Dengan demikian budaya  tradisi yang dianggap statis, indiginasi dituntut untuk mendapatkan posisi yang baru dalam era globalisasi lewat kesadaran yang kritis.
Dengan melalui kesadaran yang kritis ini diharapkan budaya  tradisi dapat membangun kekuatan diri sendiri berdasar pada paradigmanya sendiri, serta memperkuat sistem dan prinsip yang bersumber dari lokal untuk ditawarkan melalui konteks yang global. Konteks reposisi semacam ini dianggap sangat perlu dan penting sebagai upaya dalam reposisi budaya, sehingga dapat membangkitkan kembali daya tarik serta rasa memiliki dalam masyarakat lokal yang telah diwarisi budaya tradisi, termasuk .
E. PENUTUP

Dalam merkantilisme budaya yang melanda saat ini, budaya tradisi dalam memperkuat masyarakat lokal harus segera melakukan reposisi dalam era globalisasi. Dengan melalui kesadaran yang kritis ini diharapkan budaya  tradisi, termasuk   tradisi misalnya dapat membangun kekuatan diri sendiri berdasar pada paradigmanya sendiri, serta memperkuat sistem dan prinsip yang bersumber dari lokal untuk ditawarkan melalui konteks global. Dengan demikian budaya tradisi di dalam masyarakat  khususnya dan di Indonesia pada umumnya akan tetap eksis dan dapat bertahan serta berkembang sesuai dengan kekuatan lokalnya.

F. DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B. R.O”G., Mythology and The Tolerance of The Javanese, Cornell Modern Indonesia, 1996
Buchari, S., 1995, Kebudayaan , Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Cassires, E., 1944, An Essay on Man: An Intoduction to A Philosophy of Human
Culture, Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
Hitchcock, M., 1991, Indonesian Textiles, Berkeley, Singapore: Periplus Education.
Hoop, V.D., 1949, Indonesische Siermotieven, Bandoeng: Gedrukt Door NV & Co.
Kalinggo Honggodipuro, KRT., 2002,  Sebagai Busana Dalam Tatanan dan
Tuntunan, Surakarta: Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia.
Mulder, N., 1996, Pribadi dan Masyarakat , Jakarta: Sinar Harapan.
Raga Maran, Rafael. 2000. Manusia dan Kebudayaan : Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Read, H., 1970, Education Through Art, London: University of California Press.
Sardjono, Maria A. 1995. Paham . Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Soedarmono, 1990, Dinamika Kultural  Klasik , Sarasehan Kebudayaan, Surakarta: Taman Budaya.
Susanto, S., 1980,  Kerajinan  Indonesia, Yogyakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan  dan Kerajinan.
Suseno, F.M., 2001, Etika , Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Kayam, U., 1981, , Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan.
Yasper Y.E., Mas Pirngadie, 1916, De  Kunst, Nederlansche Indie: S’ Gravenhage
Yasraf Amir Pilaang, 2004, Makalah “Penguatan  Tradisi dalam Era Merkantilisme Budaya”, Surakarta: STSI Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar